Tari Jaranan Buto
Jaranan buto berarti "kuda lumping raksasa". Keberadaan kesenian Jaranan
Buto di daerah Banyuwangi, tidak terlepas dengan cerita rakyat yang
melegenda yaitu Menak Jinggo. Menak Jinggo seorang raja kerajaan
Blambangan, Raja Menak Jinggo berperawakan besar kekar bagaikan raksasa
atau ”buto”.
Sesuai dengan namanya jaranan buto, para pemain kesenian ini
berperawakan tinggi besar dan kekar, dengan memakai kostum mirip buto.
Gerakan-gerakan tarinya juga mengekspresikan seperti “raksasa”
Tari ini berkembang didaerah Banyuwangi dan
Blitar, Tari jaranan buto ini dipertunjukkan pada Upacara iring-iringan
pengantin dan khitanan. Tarian ini serupa dengan tari Jaranan Kepang tetapi
kuda-kudanya menggambarkan binatang yang berkepala Raksasa.
Tari Jaranan Buto dimainkan oleh 16-20 orang. Peralatan yang mengiringi
kesenian jaranan buto adalah kendang, gong, terompet, kethuk dan kuda
kepang dengan kepala berbentuk raksasa atau bentuk babi hutan serta
topeng berbentuk kepala binatang buas. Kesenian ini biasanya dilakukan
mulai pada Pukul 10.00 pagi sampai dengan - 16.00 sore. (dd)
Evolusi paling signifikan dari seni ini adalah ekspresi seni itu sendiri yang lebih kuat. "Hampir" tidak ada unsur magic
yang terlibat. Saya memang tidak melihat kehadiran unsur-unsur magic,
dan begitulah yang saya dengar dari salah satu penonton lokal yang
menginformasikan bahwa tidak ada yang kalap-kalapan. Saya tulis "hampir"
karena saya tidak menonton hingga tuntas dan terus terang saja belum
yakin benar memang tidak akan ada yang kalap (intrance).
Jaranan buto secara harfiah berarti "kuda lumping
raksasa". Mungkin ini muncul karena daerah Banyuwangi terkenal dengan
legenda Menak Jinggo, seorang raja kerajaan Blambangan yang dilukiskan
sebagai seorang "buto" atau raksasa. Sesuai dengan namanya, para pemain
kesenian ini berperawakan besar dengan kostum buto. Gerakan-gerakan
tarinya juga mengekspresikan ke-raksasa-an. Tegap, berani, dan kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar