Kamis, 05 Desember 2013

Tari Glipang


Tari ini berkembang dikalangan masyarakat Mandalungan, Gerak Tarinya kebanyakan mengambil unsur-unsur silat dengan gerakan keras tetapi penuh humor, Penggambaran tarian ini yaitu tentang pemuda-pemuda yang sedang berlatih olah keprajuritan
Tari Glipang adalah sebuah tari rakyat yang merupakan bagian dari pada kesenian tradisional Kabupaten Probolinggo.Tidak ada bedanya dengan tari Remo yaitu sebuah tari khas daerah Jawa Timur yang merupakan bagian dari kesenian Ludruk.
Parmo cucu pencipta Tari Glipang kepada Bromo Info mengatakan Tari Glipang berasal dari kebiasaan masyarakat. Kebiasaan yang sudah turun temurun tersebut akhirnya menjadi tradisi. Dia menjelaskan, Glipang bukanlah nama sebenarnya tarian tersebut..
“Awalnya nama tari tersebut “Gholiban” berasal dari Bahasa Arab yang artinya kebiasaan. Dari kebiasaan-kebiasaan tersebut akhirnya sampai sekarang menjadi tradisi,” kata Parmo asal warga Pendil Kecamatan Banyuanyar.


Sejarah Tari Glipang
Di ceritakan oleh Parmo, Tari Glipang (Gholiban) tersebut dibawa oleh kakek buyutnya yang bernama Seno atau lebih dikenal Sari Truno dari Desa Omben Kabupaten Sampang Madura.Sari Truno membawa topeng Madura tersebut untuk menerapkan di Desa Pendil.
“Ternyata masyarakat Desa Pendil sangat agamis.Masyarakat menolak adanya topeng Madura tersebut.Karena didalamnya terdapat alat musik gamelan.Sehingga kakek saya merubahnya menjadi Raudlah yang artinya olahraga,” lanjut Parmo.
Sari Truno kemudian mewariskan kebiasaan tersebut kepada putrinya yang bernama Asia atau yang biasa dipanggil Bu Karto..Parmo yang saat itu masih berusia 9 tahun mencoba ikut menekuninya. Tari Gholiban/Tari Glipang tersebut mempunyai 3 gerakan.Dimana tiap-tiap gerakan tersebut mempunyai makna dan cerita pada saat diciptakan.
Pertama tari olah keprajuritan atau yang biasa disebut dengan Tari Kiprah Glipang.Tari Kiprah Glipang ini menggambarkan ketidakpuasan Sari Truno kepada para penjajah Belanda.Dari rasa ketidakpuasan tersebut akhirnya menimbulkan napas besar.Tari Kiprah Glipang ini sudah terkenal secara Internasional dan sudah mendapatkan beberapa piagam perhargaan.
“Tari Kiprah Glipang pernah menjadi 10 besar tingkat nasional tahun 1995.Selain itu juga pernah datang ke Istana Presiden di Jakarta sebanyak 5 kali diantaranya waktu menyambut kedatangan Presiden Kamboja dan Presiden Pakistan.Saya juga pernah diundang ke Jakarta waktu peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke- 39,” tambah Parmo.
Tari Kiprah Glipang yang telah diciptakan oleh Sari Truno benar-benar serasi dan sejiwa dengan pribadi penciptanya.Jiwa Sari Truno yang sering bergolak melawan prajurit-prajurit Belanda pada waktu itu diekspresikan melalui bentuk tari ini.
Kedua, Tari Papakan yang mempunyai makna bertemunya seseorang setelah lama berpisah.”Waktu itu digambarkan bertemunya Anjasmara dengan Damarwulan.Dimana waktu itu Damarwulan diutus untuk membunuh Minakjinggo.Akhirnya Damarwulan berhasil dengan dibantu oleh 2 istri Minakjinggo.Tapi sebelum bertemu Anjasmara, Damarwulan di hadang oleh Layang Seto dan Layang Kumitir di Daerah Besuki,” jelas Parmo.
Ketiga, Tari Baris yang menggambarkan para prajurit Majapahit yang berbaris ingin tahu daerah Jawa Timur.”Waktu itu prajurit Majapahit tersebut berbaris di daerah Jabung untuk mengetahui daerah Jawa Timur.Awalnya tari ini berawal dari badut, lawak, dan kemudian berubah menjadi cerita rakyat,” terang Parmo.
Menurut Parmo yang menjadi latar belakang dirinya tetap eksis di Tari Glipang diantaranya ingin melestarikan budaya yang dibawa oleh kakek buyutnya Sari Truno.Selain itu kakeknya membawa topeng Madura tersebut dari Madura hanya dengan naik ikan Mongseng.Parmo juga ingin mengembangkan warisan kakek buyutnya kepada generasi muda terutama yang ada di Kabupaten Probolinggo.

Tari Reog Kendang

Tari Reog Kendang
 
Reog Kendang, dikenal juga dengan Reog Kendhang atau yang dipopulerkan dengan nama Reog Tulungagung, merupakan kesenian tradisional yang memiliki aras tradisi yang sama dengan Reog Ponorogo. Sejarah mencatat, adanya kesenian reog itu sendiri tidaklah lepas dari sejarah tentang keberadaan Kraton Kediri.Dalam Reog Kendang, barisan prajurit ini diwakili oleh enam orang penari dengan berbagai atribut yang dipakainya. Menariknya, setiap gerakan dalam Reog Kendang maupun atribut-atribut yang dipakai merupakan simbolisasi yang kaya dengan makna. Salah satu contohnya adalah Udheng. Ikat kepala yang terbuat dari kain batik motif gadung warna hitam ini memiliki makna sebagai lambang dari nilai persatuan dan kesatuan (dari para prajurit). Dan warna hitam sendiri melambangkan ketenangan, adil, tegas dan berwibawa.
Reog Kendang Tulungagung yaiku kesenian tari rakyat kang ngambarake arak-arakan prajurit Kedhirilaya ing kagiatan ngiringi Ratu Kilisuci tumuju ing gunung kelud,kanggo nemoni Jathasura.Jroning tarian reog kendang Tulungaung kang dipunggawani kanthi cacah panari 6 wong lan ngambarake para prajurit.
Tari ini disebut juga dengan Reog Tulungagung, Karen berkembang didaerah Tuliunggagung dan sekitarnya. Konon tarian ini melukiskan tentang iringan – iringan prajurit kediri ketika hendak menjebak raksasan di kawah gunung Kemput, Kisah tarian ini erat hubungannya dengan legenda terjadinya kota Kediri. Versi lain menyebutkan bahwa tarian ini diilhami oleh permainan gendang prajurit bugis dalam salah satu kesatuan laskar trunojoyo, Alat yang digunakan adalah Tam-Tam  (kendang kecil yang digendong)

Sejarah  Tari Reog Kendang
 Menurut catatan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung, Reog Kendang merupakan gubahan tari tradisional yang menggambarkan arak-arakan prajurit pasukan Kedhirilaya tatkala mengiringi rombongan pengantin Ratu Kilisuci ke Gunung Kelud. Alkisah, Putri Kilisuci sedang dilamar oleh Raja Bugis untuk dijadikan permaisuri. Dalam perjalanannya ke (arah0 Madiun, para prajurit yang mewakili Raja Bugis dalam melakukan lamaran ini tersesat lewat Ponorogo, Trenggalek dan Tulungagung sebelum akhirnya sampai di Kediri.
Secara keseluruhan, Reog Kendang mengilustrasikan tentang sebuah perjalanan yang harus ditempuh oleh para prajurit. Mulai dari gambaran tentang beratnya beban yang mereka bawa dan mereka harus terbungkuk-bungkuk membawanya, susahnya perjalanan yang dilalui dengan naik turun lembah-lembah yang curam sehingga mereka terseok-seok, sampai pada kegembiraan terhadap kemenangan yang dicapai oleh para prajurit.

Tari Jaranan Buto

Tari Jaranan Buto
 
 Jaranan buto berarti "kuda lumping raksasa". Keberadaan kesenian Jaranan Buto di daerah Banyuwangi, tidak terlepas dengan cerita rakyat yang melegenda yaitu Menak Jinggo. Menak Jinggo seorang raja kerajaan Blambangan, Raja Menak Jinggo berperawakan besar kekar bagaikan raksasa atau ”buto”.
Sesuai dengan namanya jaranan buto, para pemain kesenian ini berperawakan tinggi besar dan kekar, dengan memakai kostum mirip buto. Gerakan-gerakan tarinya juga mengekspresikan seperti “raksasa”
Tari ini berkembang didaerah Banyuwangi dan Blitar, Tari jaranan buto ini dipertunjukkan pada Upacara iring-iringan pengantin dan khitanan. Tarian ini serupa dengan tari Jaranan Kepang tetapi kuda-kudanya menggambarkan binatang yang berkepala Raksasa.
 Tari Jaranan Buto dimainkan oleh 16-20 orang. Peralatan yang mengiringi kesenian jaranan buto adalah kendang, gong, terompet, kethuk dan kuda kepang dengan kepala berbentuk raksasa atau bentuk babi hutan serta topeng berbentuk kepala binatang buas. Kesenian ini biasanya dilakukan mulai pada Pukul 10.00 pagi sampai dengan - 16.00 sore. (dd)
Evolusi paling signifikan dari seni ini adalah ekspresi seni itu sendiri yang lebih kuat. "Hampir" tidak ada unsur magic yang terlibat. Saya memang tidak melihat kehadiran unsur-unsur magic, dan begitulah yang saya dengar dari salah satu penonton lokal yang menginformasikan bahwa tidak ada yang kalap-kalapan. Saya tulis "hampir" karena saya tidak menonton hingga tuntas dan terus terang saja belum yakin benar memang tidak akan ada yang kalap (intrance).
Jaranan buto secara harfiah berarti "kuda lumping raksasa". Mungkin ini muncul karena daerah Banyuwangi terkenal dengan legenda Menak Jinggo, seorang raja kerajaan Blambangan yang dilukiskan sebagai seorang "buto" atau raksasa. Sesuai dengan namanya, para pemain kesenian ini berperawakan besar dengan kostum buto. Gerakan-gerakan tarinya juga mengekspresikan ke-raksasa-an. Tegap, berani, dan kuat. 


Tari Drama Wayang Topeng

Sekilas tentang tari drama wayang topeng ..

Tari Drama Wayang Topeng



Wayang topeng termasuk seni teater tradisional, disebut juga dengan istilah drama tari topeng, karena semua pelaku (anak wayang) menggunakan tarian dalam memainkan suatu adegan.
Wayang topeng, atau bisa juga disebut sebagai drama tari topeng, merupakan salah satu bentuk drama tari Jawa yang menceritakan kisah Panji. Kisah Panji menceritakan siklus perjalanan cinta antara Panji Asmara Bangun (Raden Inu Kertopati), dengan Dewi Sekartaji atau Galuh Candra Kirana, yang penuh liku. Kisah cinta yang diwarnai perjalanan pisah-sambung, dan melahirkan banyak episode. Cerita Panji menyebar tidak hanay di seantero Nusantara, tetapi ada juga di Thailand, Malaysia, Khamboja, Myanmar, juga Filipina.

Sejarah Tari Drama Wayang Topeng
Menjelang pernikahan, Dewi Sekartaji atau Candra Kirana tengah bercengkerama di taman, bersama dayang-dayang, ketika tiba-tiba datang seorang raksasa perempuan, dan menculik sang Dewi. Kerajaan pun geger dengan hilangnya sang Dewi. Kegemparan juga melanda kerajaan tempat Panji Asmara bangun bermukim. Semua bergegas mengirim prajurit untuk mencari keberadaan Dewi Sekartaji.
Ketika sedang diadakan pertemuan membahas belum ditemukannya Dewi Sekartaji, tiba-tiba datang ‘Dewi Sekartaji’, dan tentu saja disambut suka cita oleh sang Panji Asmara Bangun, juga  besar nya. Keduanya segera melangsungkan pernikahan. ‘Dew i Sekartaji’ sangat berbahagia, dia menari-nari kegirangan. Dia kadang lupa bahwa dia sedang menyaru (menyamar) menjadi Dewi Sekartaji. Adegan ini sangat menggelikan, di tengah tarian yang lemah gemulai, tiba-tiba ada gerak yang amat perkasa, kocak,  dan jenaka.
Dewi Sekartaji’ bersama Panji Asmara Bangun Di luar kerajaan, adalah Kuda Narawangsa, seorang  pemuda tampan yang tindak-tanduknya dianggap mencurigakan, lalu  ditangkap oleh Panji Gunungsari.  Sang pemuda ternyata bisa ndhalang, dia menyatakan akan suwita (mengabdi) kepada Panji Asmara Bangun, dengan keahliannya mendalang. Syahdan, dalang muda pun mendalang di hadapan Panji Asmara Bangun dan Dewi Sekartaji.
Diceritakan oleh sang Dalang, perjalanan hidup sang Panji, yang menikahi perempuan cantik jelita, tetapi sayang, tingkah-lakunya aneh. Kadang lemah lembut, kadang tertawanya macam rakseksi (raksasa perempuan). Dewi Sekartaji marah-marah, tetapi disabarkan oleh suaminya. Ki Dalang melanjutkan kisahnya, dikatakan pula bahwa  Dewi Sekartaji doyan daging mentah. Sampai di sini Panji Asmara Bangun ikut tersulut amarahnya. Diseretnya Kudarawangsa, dan dihajarnya.
Panji dan istrinya marah kepada Kuda Narawangsa, karena menjelek-jelekkan Sekartaji
Kuda Narawangsa melawannya, tetapi ada yang membuat Panji Asmara Bangun ngungun, heran. Di sela perlawanan itu, Kuda Narawangsa sering berlaku aneh, tiba-tiba saja memukul-mukul pundak Panji dengan gemas juga manja, selain itu saat adegan perang dia seperti tidak sungguh-sungguh, malah seperti memijit. Di saat lain dia menowel pipi Panji Asmara Bangun, lama-lama Panji Asmara Bangun tahu bahwa Kuda Narawangsa tak lain dan tak bukan adalah Dewi Sekartaji yang sesungguhnya. Kekasih yang sangat dicintainya, lalu siapa perempuan yang elama ini bersamanya?
Panji Kuda Narawangsa yang mendadak kemayu di sela-sela perang tanding
Dan terjadilah pertemuan yang mengharukan. Ini membuat  ‘Dewi Sekartaji’ marah besar, dan menyerang Dewi Sekartaji. Mereka bertarung memperebutkan cinta Panji Asmara Bangun yang kebingungan melihat ada dua Sekartaji . Adegan ini mengundang tawa, terutama saat Panji ditarik ke kiri dan ke kanan. Juga saat /Dewi Sekartaji’ memaksa Panji untuk memeluknya, dengan menarik-narik tangan Panji.
Pada saat yang tepat, rambut ‘Dewi Sekartaji’ dijambak (ditarik) Panji Asmara Bangun, sampai mahkota lepas, ‘Dewi Sekartaji’ badhar (kembali  ke wajah asli), berujud raksasa perempuan, dan kalah oleh panah Panji Gunung Sari.
Kuda Narawangsa kembali ke ujud aslinya, Dewi Sekataji
 Terjadilah perebutan antara Sekartaji asli dengan yang palsu
Salah satu adegan kocak saat Sekartaji palsu menarik-narik tangan Panji agar memeluknya
Panji Asmara bangun yang bingung diperebutkan dua orang perempuan