Selasa, 10 Desember 2013

Tari Cemeti





Tari pecot (pecut, cemeti) biasanya dilakukan pada saat acara perlombaan sapi dan dilakukan oleh beberapa gadis Mereka mengitari pasangan sapi yang akan berlomba, mengibas-ngibaskan selendang warna-warni yang tersampir di pundak. Gerak mereka kadang lembut bak tari serimpi di Jawa, kadang seperti gerakan silat, atau mirip gerakan joget bumbung Bali. 

Tari Karonsih

Tari Karonsih, melambangkan tari percintaan antara Dewi Sekartaji dengan Panji Asmarabangun.

Tari berpasangan ini berasal dari Surakarta, dan biasanya di tarikan pada saat diadakan pernikahan.
Sebelum pernikahan dimulai, biasanya penari pria akan membimbing pengantin dan keluarga menuju ke pelaminan.
Dengan iringan Ladrang Temanten, penari dan pengantin serta keluarga berjalan bersama ke pelaminan. Nama tarian ini adalah CUCUK LAMPAH.
Penari pria akan menari gila-gilaan atau hanya tayungan (berjalan pelan untuk penari putra alus dan gagah)
Ketika semua pengantin dan semua keluarga sudah berada di pelaminan, tari karonsih pun langsung di sajikan, setelah berdoa bersama dan beberapa patah kata dari keluarga.

Dan inilah Dewi Sekartaji, yang di ceritakan sedang menunggu kedatangan sang pujaan hati, Panji Asmarabangun ditengah hutan.
Sekartaji menunggu dan terus menunggu kedatangan sang suami, tapi yang ditunggu tak kunjung datang. Sekartaji mencari keberadaan Panji Asmarabangun, dan dia berdoa kepada sang kuasa, agar tidak terjadi sesuatu kepada suami tercintanya.

Tanpa dia sadari, ditengah-tengah doanya, sang pujaan hati datang menghampiri, tapi dengan sedikit jual mahal, Sekartaji malah pergi, kecewa karena dibiarkan menunggu tertalu lama.
Mengetahui bahwa sang istri kecewa, Panji Asmarabangun pun mencoba untuk merayunya, dengan berbagai cara. Mulai dari mengejarnya sampai mengambilkan bunga kesukaan Sekartaji, dan memakaikannya di kepala Dewi Sekartaji.
Akhirnya Dewi Sekartaji takhluk dan dengan gembira menari bersama suaminya tercinta.














Budaya Tradisional Lamongan

Lamongan

Tarian tradisional ini terinspirasi oleh aktivitas penjual nasi Boranan yang datang ke sini dan sana dari pagi sampai subuh. Langkah tari Boranan cukup sederhana namun bermakna, dengan etika tradisionalisme. Ini menunjukkan aktivitas Boranan penjual menyiapkan makanan mereka sampai menyajikan kepada pelanggan. The Boranan penari selalu datang dari Lamongan, yang mengenakan kain batik tradisional Lamongan, antara biru dan hitam dan merah garis perjalanan di pinggang dan mereka akan melakukan tarian selama sekitar 5 menit.


Lamongan

Caping Ngancak tari adalah salah satu tarian tradisional Kabupaten Lamongan. Tarian ini menggambarkan tentang petani di sawah mereka dari menanam padi sampai mereka mendapatkan panen. Seperti petani, para penari juga memakai 'Caping' (topi khusus yang hanya memakai petani di Indonesia)

Tari Merak

Tari merak merak merupakan tarian popular di Tanah Jawa, versi yang berbeda bisa didapati juga di daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tari Merak pada mulanya merupakan tarian kreasi baru dari tanah Pasundan yang diciptakan oleh Raden Tjetjep Somantri pada tahun 1950-an dan dibuat ulang oleh dra. Irawati Durban pada tahun 1965. Lalu kemudian di Jawa Tengah diciptakan kreasi baru Tari Merak dengan gaya dan  musik khas Jawa Tengah yang dipopulerkan oleh Bagong Kussudiardja pada tahun 1985 di Tropen Museum Amsterdam.  Kemudian juga berkembang ke Jawa Timur dengan gerak dan musik khas Jawa Timuran.
Setiap gerakan penuh makna ceria dan gembira, sehingga tarian ini kerap digunakan sebagai tarian persembahan bagi tamu atau menyambut pengantin pria menuju pelaminan. Kostumnya yang berwarna warni dengan aksen khas burung merak dan ciri khas yang paling dominan adalah sayapnya dipenuhi dengan payet yang bisa dibentangkan oleh sang penari dengan satu gerakan yang anggun menambah indah pesona tarian ini, serta mahkota yang berhiaskan kepala burung merak yang disebut singer yg akan bergoyang setiap penari menggerakkan kepalanya.

Tari Bedhoyo



BANYUWANGI – Duta seni Banyuwangi kembali mengukir prestasi gemilang. Kali ini, tari Bedoyo Wulandaru berhasil meraih juara umum dalam Festival Karya Tari (FKT) tingkat Jatim yang dihelat di Taman Krida, Malang. Dalam festival yang berlangsung 30 Mei 2012 tersebut, tim seni Banyuwangi sukses menyingkirkan 14 peserta daerah lain. Kontingen Banyuwangi masuk dalam sepuluh nominasi penyaji terbaik.
Prestasi lain, Banyuwangi juga masuk sebagai tiga jawara penata tari terbaik, dan tiga terbaik penata busana dan rias. “Kita juga unggul sebagai penata musik terbaik,” tegas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadisbudpar) Banyuwangi, Supra- yogi kemarin (5/6). Menurut Suprayogi, karena unggul dalam empat kategori, maka penampilan tari Bedoyo Wulandaru ditetapkan sebagai juara umum. Banyuwangi pun berkesempatan mewakili Jatim dalam even nasional dan internasional.
Pada even tahunan yang diselenggarakan Disbudpar Jatim tersebut, Banyuwangi tidak hanya berjaya pada tari Bedoyo Wulandaru. Tari Jakripah juga berhasil menang dalam tiga kategori. Dari 30 peserta yang ikut festival, Banyuwangi masuk dalam sepuluh nominasi penyaji terbaik. Banyuwangi unggul dalam tiga besar penata busana dan rias terbaik serta tiga besar penata musik terbaik. “Tari Jakripah tidak juara umum, hanya sebagai juara,” jelas Suprayogi. (radar)

Kamis, 05 Desember 2013

Tari Beskalan



 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8S10_Cl7v7HPURd0NTaQrGE85M1j4ElKGpZM1W_yyvoquwOVvtGKzeOjtBUNYETS3Ix6cYREVn-aJopU4uI9UHS2x1UYhyc0spL8_kzs2RK7ujgts8OmjhbiGgTeiwxwxzrL8JhP2NCo/s1600/beskalan.jpg
Selama ini koreografi tehnik hanya dikupas untuk mendapatkan pemahaman yang bersifat simbolik, yaitu dengan melakukan interpretasi dari aspek etimologi, dan bertujuan untuk mendeskripsikan struktur luar. Hasilnya hany sebatas penjelasan deskriptif mengenai uraian dibalik alas an-alasan tentang peristilahan, fase-fase rangkaian gerak, makna pola lantai (formasi), atau berupa tata urutan penyajian (struktur fisikal), sementara makna dibalik berbagai fenomena kehadiran tari kurang mendapat pemahaman secara lebih mendalam.
- See more at: http://tradisiku.blogspot.com/2013/01/tari-beskalanmalang.html#sthash.5npG6eF8.dpuf

Tari Beskalan
Tari beskalan adalah salah satu bentuk tari putrid yang berkembang dari bentuk tari ritual, khususnya sebagai medium upacara yang erat kaitannya dengan eksistensi bumi atau tanah, yang kemudian sekitar tahun 1930-an berkembang menjadi bentuk tari yang berkaitan erat dengan pertunjukan “andong”, sejenis tayub yang pertunjukan secara berkeliling “mbarang” atau “amen”. - See more at: http://tradisiku.blogspot.com/2013/01/tari-beskalanmalang.html#sthash.V6Lzm6g3.dpuf




Tari Gembu /Gambuh



Gambuh adalah tarian dramatari Bali yang dianggap paling tinggi mutunya dan juga merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari, sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali.
Diperkirakan Gambuh muncul sekitar abad ke-15 dengan lakon bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk teater total karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama dan tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya.
Gambuh dipentaskan dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya.
Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu, tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan dalam Gambuh adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya/Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar, dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog umumnya menggunakan bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya, atau kasar.


Tari Glipang


Tari ini berkembang dikalangan masyarakat Mandalungan, Gerak Tarinya kebanyakan mengambil unsur-unsur silat dengan gerakan keras tetapi penuh humor, Penggambaran tarian ini yaitu tentang pemuda-pemuda yang sedang berlatih olah keprajuritan
Tari Glipang adalah sebuah tari rakyat yang merupakan bagian dari pada kesenian tradisional Kabupaten Probolinggo.Tidak ada bedanya dengan tari Remo yaitu sebuah tari khas daerah Jawa Timur yang merupakan bagian dari kesenian Ludruk.
Parmo cucu pencipta Tari Glipang kepada Bromo Info mengatakan Tari Glipang berasal dari kebiasaan masyarakat. Kebiasaan yang sudah turun temurun tersebut akhirnya menjadi tradisi. Dia menjelaskan, Glipang bukanlah nama sebenarnya tarian tersebut..
“Awalnya nama tari tersebut “Gholiban” berasal dari Bahasa Arab yang artinya kebiasaan. Dari kebiasaan-kebiasaan tersebut akhirnya sampai sekarang menjadi tradisi,” kata Parmo asal warga Pendil Kecamatan Banyuanyar.


Sejarah Tari Glipang
Di ceritakan oleh Parmo, Tari Glipang (Gholiban) tersebut dibawa oleh kakek buyutnya yang bernama Seno atau lebih dikenal Sari Truno dari Desa Omben Kabupaten Sampang Madura.Sari Truno membawa topeng Madura tersebut untuk menerapkan di Desa Pendil.
“Ternyata masyarakat Desa Pendil sangat agamis.Masyarakat menolak adanya topeng Madura tersebut.Karena didalamnya terdapat alat musik gamelan.Sehingga kakek saya merubahnya menjadi Raudlah yang artinya olahraga,” lanjut Parmo.
Sari Truno kemudian mewariskan kebiasaan tersebut kepada putrinya yang bernama Asia atau yang biasa dipanggil Bu Karto..Parmo yang saat itu masih berusia 9 tahun mencoba ikut menekuninya. Tari Gholiban/Tari Glipang tersebut mempunyai 3 gerakan.Dimana tiap-tiap gerakan tersebut mempunyai makna dan cerita pada saat diciptakan.
Pertama tari olah keprajuritan atau yang biasa disebut dengan Tari Kiprah Glipang.Tari Kiprah Glipang ini menggambarkan ketidakpuasan Sari Truno kepada para penjajah Belanda.Dari rasa ketidakpuasan tersebut akhirnya menimbulkan napas besar.Tari Kiprah Glipang ini sudah terkenal secara Internasional dan sudah mendapatkan beberapa piagam perhargaan.
“Tari Kiprah Glipang pernah menjadi 10 besar tingkat nasional tahun 1995.Selain itu juga pernah datang ke Istana Presiden di Jakarta sebanyak 5 kali diantaranya waktu menyambut kedatangan Presiden Kamboja dan Presiden Pakistan.Saya juga pernah diundang ke Jakarta waktu peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke- 39,” tambah Parmo.
Tari Kiprah Glipang yang telah diciptakan oleh Sari Truno benar-benar serasi dan sejiwa dengan pribadi penciptanya.Jiwa Sari Truno yang sering bergolak melawan prajurit-prajurit Belanda pada waktu itu diekspresikan melalui bentuk tari ini.
Kedua, Tari Papakan yang mempunyai makna bertemunya seseorang setelah lama berpisah.”Waktu itu digambarkan bertemunya Anjasmara dengan Damarwulan.Dimana waktu itu Damarwulan diutus untuk membunuh Minakjinggo.Akhirnya Damarwulan berhasil dengan dibantu oleh 2 istri Minakjinggo.Tapi sebelum bertemu Anjasmara, Damarwulan di hadang oleh Layang Seto dan Layang Kumitir di Daerah Besuki,” jelas Parmo.
Ketiga, Tari Baris yang menggambarkan para prajurit Majapahit yang berbaris ingin tahu daerah Jawa Timur.”Waktu itu prajurit Majapahit tersebut berbaris di daerah Jabung untuk mengetahui daerah Jawa Timur.Awalnya tari ini berawal dari badut, lawak, dan kemudian berubah menjadi cerita rakyat,” terang Parmo.
Menurut Parmo yang menjadi latar belakang dirinya tetap eksis di Tari Glipang diantaranya ingin melestarikan budaya yang dibawa oleh kakek buyutnya Sari Truno.Selain itu kakeknya membawa topeng Madura tersebut dari Madura hanya dengan naik ikan Mongseng.Parmo juga ingin mengembangkan warisan kakek buyutnya kepada generasi muda terutama yang ada di Kabupaten Probolinggo.

Tari Reog Kendang

Tari Reog Kendang
 
Reog Kendang, dikenal juga dengan Reog Kendhang atau yang dipopulerkan dengan nama Reog Tulungagung, merupakan kesenian tradisional yang memiliki aras tradisi yang sama dengan Reog Ponorogo. Sejarah mencatat, adanya kesenian reog itu sendiri tidaklah lepas dari sejarah tentang keberadaan Kraton Kediri.Dalam Reog Kendang, barisan prajurit ini diwakili oleh enam orang penari dengan berbagai atribut yang dipakainya. Menariknya, setiap gerakan dalam Reog Kendang maupun atribut-atribut yang dipakai merupakan simbolisasi yang kaya dengan makna. Salah satu contohnya adalah Udheng. Ikat kepala yang terbuat dari kain batik motif gadung warna hitam ini memiliki makna sebagai lambang dari nilai persatuan dan kesatuan (dari para prajurit). Dan warna hitam sendiri melambangkan ketenangan, adil, tegas dan berwibawa.
Reog Kendang Tulungagung yaiku kesenian tari rakyat kang ngambarake arak-arakan prajurit Kedhirilaya ing kagiatan ngiringi Ratu Kilisuci tumuju ing gunung kelud,kanggo nemoni Jathasura.Jroning tarian reog kendang Tulungaung kang dipunggawani kanthi cacah panari 6 wong lan ngambarake para prajurit.
Tari ini disebut juga dengan Reog Tulungagung, Karen berkembang didaerah Tuliunggagung dan sekitarnya. Konon tarian ini melukiskan tentang iringan – iringan prajurit kediri ketika hendak menjebak raksasan di kawah gunung Kemput, Kisah tarian ini erat hubungannya dengan legenda terjadinya kota Kediri. Versi lain menyebutkan bahwa tarian ini diilhami oleh permainan gendang prajurit bugis dalam salah satu kesatuan laskar trunojoyo, Alat yang digunakan adalah Tam-Tam  (kendang kecil yang digendong)

Sejarah  Tari Reog Kendang
 Menurut catatan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung, Reog Kendang merupakan gubahan tari tradisional yang menggambarkan arak-arakan prajurit pasukan Kedhirilaya tatkala mengiringi rombongan pengantin Ratu Kilisuci ke Gunung Kelud. Alkisah, Putri Kilisuci sedang dilamar oleh Raja Bugis untuk dijadikan permaisuri. Dalam perjalanannya ke (arah0 Madiun, para prajurit yang mewakili Raja Bugis dalam melakukan lamaran ini tersesat lewat Ponorogo, Trenggalek dan Tulungagung sebelum akhirnya sampai di Kediri.
Secara keseluruhan, Reog Kendang mengilustrasikan tentang sebuah perjalanan yang harus ditempuh oleh para prajurit. Mulai dari gambaran tentang beratnya beban yang mereka bawa dan mereka harus terbungkuk-bungkuk membawanya, susahnya perjalanan yang dilalui dengan naik turun lembah-lembah yang curam sehingga mereka terseok-seok, sampai pada kegembiraan terhadap kemenangan yang dicapai oleh para prajurit.

Tari Jaranan Buto

Tari Jaranan Buto
 
 Jaranan buto berarti "kuda lumping raksasa". Keberadaan kesenian Jaranan Buto di daerah Banyuwangi, tidak terlepas dengan cerita rakyat yang melegenda yaitu Menak Jinggo. Menak Jinggo seorang raja kerajaan Blambangan, Raja Menak Jinggo berperawakan besar kekar bagaikan raksasa atau ”buto”.
Sesuai dengan namanya jaranan buto, para pemain kesenian ini berperawakan tinggi besar dan kekar, dengan memakai kostum mirip buto. Gerakan-gerakan tarinya juga mengekspresikan seperti “raksasa”
Tari ini berkembang didaerah Banyuwangi dan Blitar, Tari jaranan buto ini dipertunjukkan pada Upacara iring-iringan pengantin dan khitanan. Tarian ini serupa dengan tari Jaranan Kepang tetapi kuda-kudanya menggambarkan binatang yang berkepala Raksasa.
 Tari Jaranan Buto dimainkan oleh 16-20 orang. Peralatan yang mengiringi kesenian jaranan buto adalah kendang, gong, terompet, kethuk dan kuda kepang dengan kepala berbentuk raksasa atau bentuk babi hutan serta topeng berbentuk kepala binatang buas. Kesenian ini biasanya dilakukan mulai pada Pukul 10.00 pagi sampai dengan - 16.00 sore. (dd)
Evolusi paling signifikan dari seni ini adalah ekspresi seni itu sendiri yang lebih kuat. "Hampir" tidak ada unsur magic yang terlibat. Saya memang tidak melihat kehadiran unsur-unsur magic, dan begitulah yang saya dengar dari salah satu penonton lokal yang menginformasikan bahwa tidak ada yang kalap-kalapan. Saya tulis "hampir" karena saya tidak menonton hingga tuntas dan terus terang saja belum yakin benar memang tidak akan ada yang kalap (intrance).
Jaranan buto secara harfiah berarti "kuda lumping raksasa". Mungkin ini muncul karena daerah Banyuwangi terkenal dengan legenda Menak Jinggo, seorang raja kerajaan Blambangan yang dilukiskan sebagai seorang "buto" atau raksasa. Sesuai dengan namanya, para pemain kesenian ini berperawakan besar dengan kostum buto. Gerakan-gerakan tarinya juga mengekspresikan ke-raksasa-an. Tegap, berani, dan kuat.